Senin, 03 Januari 2011

Tim garuda...garudaku sayang...




banyak yg terjadi diakhir 2010
dari kehilangan artis papan atas yg bermaen di cinta fitri
sampai prestasi gemilang yg dilakukan Utina dkk
( huoooooooooo...awalnya sangat mengidolakan irfan, secara baru kali ini ada pemaen timnas yg ganteng. tapi lama2 ko diliatin jadi bosen. berbeloklah ke Firman utina n bambang pamungkas...huoooo)
sesaat sebelum partai final leg ke 2 di GBK, ada sebuah blog yg keren bgt. judulnya surat utk Firman Utina

berikut isinya:
Teman, kita sebaya. Hanya bulan yg membedakan usia. Kita tumbuh di tengah sebuah generasi dimana tawa bersama itu sangat langka. Kaki kita menapaki jalan panjang dengan langkah payah menyeret sejuta beban yg seringkali bukan urusan kita. Kita disibukkan dengan beragam masalah yg sialnya juga bukan urusan kita. Kita adalah anak-anak muda yg dipaksa tua oleh televisi yg tiada henti mengabarkan kebencian.

Sementara adik-adik kita tidak tumbuh sebagaimana mestinya, narkoba politik uang membunuh nurani mereka. Orang tua, pendahulu kita dan mereka yg memegang tampuk kekuasaan adalah generasi gagal. Suatu generasi yg hidup dalam bayg-bayg rencana yg mereka khianati sendiri. Teman, akankah kita berhenti lantas mengorbankan diri kita untuk menjadi seperti mereka?

Di negeri permai ini, cinta hanyalah kata-kata sementara benci menjadi kenyataan. Kita tidak pernah mencintai apapun yg kita lakukan, kita hanya ingin mendapatkan hasilnya dengan cepat. Kita tidak mensyukuri berkah yg kita dapatkan, kita hanya ingin menghabiskannya. Kita enggan berbagi kebahagiaan, sebab kemalangan orang lain adalah sumber utama kebahagiaan kita. Teman, inilah kenyataan memilukan yg kita hadapi, karena kita hidup tanpa cinta maka bahagia bersama menjadi langka.

Baygkan adik-adik kita, lupakan mereka yg tua, bagaimana mereka bisa tumbuh dalam keadaan demikian. Teman, cinta adalah persoalan kegemaran. Cinta juga masalah prinsip. Bila kau mencintai sesuatu maka kau tidak akan peduli dengan yg lainnya. Tidak kepada poster dan umbul-umbul, tidak kepada para kriminal yg suka mencuci muka apalagi kepada kuli kamera yg menimbulkan kolera.

Cinta adalah kesungguhan yg tidak dibatasi oleh menang dan kalah. Hari-hari belakangan ini keadaan tampak semakin tidak menentu. Keramaian puluhan ribu orang antre tidak mendapatkan tiket. Jutaan orang lantang bersuara demi sepakbola. Segelintir elit menyiapkan rencana jahat untuk menghancurkan kegembiraan rakyat. Kakimu, Teman, telah memberi makna solidaritas. Gocekanmu Teman, telah mengundang tarian massal tanpa saweran. Terobosanmu, Teman, menghidupkan harapan kepada adik-adik kita bahwa masa depan itu masih ada.

Tendanganmu Teman, membuat orang-orang percaya bahwa kata “bisa” belum punah dari kehidupan kita. Tetapi inilah buruknya hidup di tengah bangsa yg frustasi, semua beban diletakkan ke pundakmu. Seragammu hendak digunakan untuk mencuci dosa politik. Kegembiraanmu hendak dipunahkan oleh iming-iming bonus dan hadiah. Di Bukit Jalil kemarin, ada yg mengatakan kau terkapar, tetapi aku percaya kau tengah belajar. Di Senayan esok, mereka bilang kau akan membalas, tetapi aku berharap kau cukup bermain dengan gembira.

Firman Utina, kapten tim nasional sepak bola Indonesia, bermain bola lah dan tidak usah memikirkan apa-apa lagi. Sepak bola tidak ada urusannya dengan garuda di dadamu, sebab simbol hanya akan menggerus kegembiraan. Sepak bola tidak urusannya dengan harga diri bangsa, sebab harga diri tumbuh dari sikap dan bukan harapan. Di lapangan kau tidak mewakili siapa-siapa, kau memperjuangkan kegembiraanmu sendiri. Di pinggir lapangan, kau tidak perlu menoleh siapa-siapa, kecuali Tuan Riedl yg percaya sepak bola bukan dagangan para pecundang.

Berlarilah Firman, Okto, Ridwan dan Arif, seolah-olah kalian adalah kanak-kanak yg tidak mengerti urusan orang dewasa. Berjibakulah Maman, Hamzah, Zulkifli dan Nasuha seolah-olah kalian mempertahankan kegembiraan yg hendak direnggut lawan. Tenanglah Markus, gawang bukan semata-mata persoalan kebobolan tetapi masalah kegembiraan membuyarkan impian lawan. Gonzales dan Irvan, bersikaplah layaknya orang asing yg memberikan contoh kepada bangsa yg miskin teladan.

Teman, aku berbicara tidak mewakili siapa-siapa. Ini hanyalah surat dari seorang pengolah kata kepada seorang penggocek bola. Sejujurnya, kami tidak mengharapkan Piala darimu. Kami hanya menginginkan kegembiraan bersama dimana tawa seorang tukang becak sama bahagianya dengan tawa seorang pemimpin Negara. Tidak, kami tidak butuh piala, bermainlah dengan gembira sebagaimana biasanya.

Biarkan bola mengalir, menarilah Teman, urusan gol seringkali masalah keberuntungan. Esok di Senayan, kabarkan kepada seluruh bangsa bahwa kebahagiaan bukan urusan menang dan kalah. Tetapi kebahagiaan bersumber pada cinta dan solidaritas. Berjuanglah layaknya seorang laki-laki, Teman. Adik-adik kita akan menjadikan kalian teladan (http://itonesia.com/).



surat tersebut ditulis oleh E S Ito tersebut sangat menyentuh, dan seharusnya para pemain timnas dapat menyempatkan diri utk membacanya...
terlepas dari kegagalan timnas menjadi juara di piala AFF, pembelajaran paling penting yg dpt dipetik dengan adanya peningkatan pada tubuh timnas, tim Garuda mampu menggabungkan semua elemen masyarakat dalam satu kata NASIONALISME

sebagai bangsa indonesia, sangat berbangga memiliki tim Garuda yg begitu solid. dan saya pribadi sangat menunggu aksi2 berikutnya dari Utina, Bepe, Irfan, Yongki, Bustomi,Gonzales, atau pemain tumnas lainnya yg akan dipilih Riedl utk laga berikutnya.
siapa saja yg membela timnas dg menggunakan seragam merah lengkap dengan lambang garuda di sebelah kiri, ketahuilah kawan, kami akan selalu mendukungmu..
suara nyanyian ' Garuda di dadaku' akan selalu menggema meskipun kami tdk hadir secara langsung menonton perjuanganmu..
maju terus persepakbolaan Indonesia..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar